TAFSIR SURAT AL-FATIHAH
Alhamdulillâhi wahdah wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh…
PENDAHULUAN
Surat al-Fatihah merupakan surat yang
paling agung dalam al-Quran. Untaian kalimatnya ringkas, namun kandungan
maknanya begitu luas. Seorang muslim yang taat membacanya setiap hari
minimal tujuh belas kali di shalatnya. Sejak kecil hingga detik ini
entah sudah berapa ratus atau ribu kali kita membacanya. Tapi yang
menjadi pertanyaan,: sudahkah kita memahami mutiara indah yang
dikandungnya, sehingga kita bisa menggapai kekhusyu’an shalat, yang itu
salah satunya bersumber dari peresapan kita akan makna bacaan shalat
[lihat: Mukadimah tahqiq kitab Tafsîr Sûrah al-Fâtihah karya
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab (hal. 9-10)]? Semoga tulisan ringkas
di bawah bisa sedikit membantu kita menggapai tujuan mulia tersebut, amien…
- · Nama-nama surat al-Fatihah
Surat al-Fatihah memiliki banyak nama,
sampai-sampai Majduddîn al-Fairûzâbâdi (w. 817 H) menyebutkan bahwa
al-Fatihah memiliki tiga puluh nama [Bashâ'ir Dzawî at-Tamyîz fî Lathâ'if al-Kitâb al-'Azîz (I/128) dinukil dari an-Nazharât al-Mâti'ah fî Sûrah al-Fâtihah karya
Dr. Marzûq az-Zahrâni (hal. 15)]. Latar belakang penamaan yang begitu
beragam kembali kepada keragaman kandungan yang ada di dalamnya serta
keutamaan dan keistimewaannya yang begitu banyak [lihat: An-Nazharât al-Mâti'ah (hal. 15)].
Di antara nama-nama tersebut:
1. Al-Fatihah atau Fâtihatul Kitâb
Dalilnya: sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“لاَ صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ”.
“Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Fâtihatul Kitâb.” (H.R. Bukhari dan Muslim dari ‘Ubâdah bin Shâmit).
Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama dalam penamaan tersebut. Dinamakan demikian; sebab penulisan mushaf dan shalat dimulai dengannya [lihat: Tafsîr al-Qurthubi (I/172) dan Tafsîr Juz 'Amma oleh Syaikh Ibn 'Utsaimîn (hal. 9)].
2. Ummul Kitâb dan Ummul Qur’ân
Dalil penamaan ini: Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“الْحَمْدُ لِلَّهِ أُمُّ الْقُرْآنِ وَأُمُّ الْكِتَابِ وَالسَّبْعُ الْمَثَانِي”.
“(Surat) alhamdulillah adalah ummul qur’an, ummul kitab dan as-sab’u al-matsâni.” (H.R. Tirmidzi dari Abu Hurairah, dan beliau berkomentar bahwa hadits ini hasan sahih).
Mayoritas ulama membolehkan penamaan di atas [lihat: Tafsîr al-Qurthubi (I/172)]. Dinamakan demikian, karena al-Fatihah merupakan inti, tanda dan pendahuluan al-Qur’an [lihat: Tafsîr al-Qur'an al-'Azhîm karya al-'Izz bin Abdissalâm (I/141), Tafsîr al-Baghawi (I/49) dan Fath al-Bâri karya Ibnu Hajar al-'Asqalâni (VIII/195)].
3. Al-Qur’ân al-’Azhîm (al-Qur’an yang agung)
Dalilnya firman Allah ta’ala,
“وَلَقَدْ آتَيْنَاكَ سَبْعاً مِّنَ الْمَثَانِي وَالْقُرْآنَ الْعَظِيمَ”.
Artinya: “Sungguh Kami telah memberikan kepadamu as-sab’u al-matsâni dan al-Qur’an yang agung.” (Q.S. Al-Hijr: 87).
Maksud dari as-sab’u al-matsâni dan al-Quran yang agung tersebut dalam ayat di atas adalah surat al-Fatihah [lihat: Tafsîr Ibn Katsîr (IV/547)], sebagaimana dijelaskan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya,
“الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ هِيَ السَّبْعُ الْمَثَانِي وَالْقُرْآنُ الْعَظِيمُ الَّذِي أُوتِيتُهُ”.
Artinya: “Alhamdulillahirabbil ‘alamin (surat al-Fatihah) adalah as-sab’u al-matsâni dan al-Qur’an yang agung yang dikaruniakan padaku.” (H.R. Bukhari dari Abu Sa’id bin al-Mu’alla).
Surat al-Fatihah dinamakan al-Quran al-’Azhîm, karena ia menghimpun seluruh ilmu al-Quran [lihat: Tafsîr al-Qurthubi (I/171,
173)]. Sebagaimana telah maklum bahwa kandungan al-Qur’an terdiri dari
tauhid, hukum (fikih), serta nasihat. Dan itu semua ada dalam surat
al-Fatihah [cermati: Tafsîr al-Qurthubi (I/173)].
4. As-Sab’u al-Matsâni
Dalilnya ayat dan hadits di atas.
Nama ini terdiri dari dua kata, yaitu: “as-sab’u” dan “al-matsâni”. “As-sab’u” artinya adalah tujuh, yakni surat al-Fatihah terdiri dari tujuh ayat. Sedangkan “al-Matsâni”,
para ulama berbeda pendapat mengapa surat al-Fatihah dinamakan dengan
kata tersebut. Ada yang mengatakan: karena surat al-Fatihah dibaca
berulang-ulang di setiap rakaat shalat. Ada pula yang berpendapat:
karena seorang hamba memuji Allah dengan surat tersebut. Dan ada juga
yang memandang: penamaan tersebut dikarenakan surat al-Fatihah Allah
khususkan untuk umat Islam saja dan tidak diturunkan kepada umat-umat
sebelumnya [lihat: Fath al-Bâri (VIII/198)].
Keutamaan surat al-Fatihah
Di antara keutamaannya:
1. Surat al-Fatihah merupakan surat yang paling mulia dalam al-Quran.
كُنْتُ
أُصَلِّي فَدَعَانِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَلَمْ أُجِبْهُ. قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي كُنْتُ أُصَلِّي.
قَالَ: أَلَمْ يَقُلْ اللَّهُ: {اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا
دَعَاكُمْ}. ثُمَّ قَالَ: أَلَا أُعَلِّمُكَ أَعْظَمَ سُورَةٍ فِي
الْقُرْآنِ قَبْلَ أَنْ تَخْرُجَ مِنْ الْمَسْجِدِ؟ فَأَخَذَ بِيَدِي
فَلَمَّا أَرَدْنَا أَنْ نَخْرُجَ قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّكَ
قُلْتَ لَأُعَلِّمَنَّكَ أَعْظَمَ سُورَةٍ مِنْ الْقُرْآنِ. قَالَ:
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ هِيَ السَّبْعُ الْمَثَانِي
وَالْقُرْآنُ الْعَظِيمُ الَّذِي أُوتِيتُهُ
Dalilnya: apa yang disampaikan Abu Sa’id bin al-Mu’alla radhiyallahu ‘anhu,
“Suatu hari aku shalat, tiba-tiba
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggilku, dan aku pun tidak
menjawabnya. (Selesai shalat) aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, tadi aku
sedang shalat.’ Beliau menjawab, ‘Bukankah Allah telah berfirman,
‘Penuhilah panggilan Allah dan Rasul jika memanggil kalian’ (QS.
Al-Anfal: 24)? Lalu beliau bersabda, ‘Maukah kuajarkan padamu surat yang paling mulia dalam al-Quran
sebelum engkau keluar dari masjid?’ Kemudian beliau menggandeng
tanganku, tatkala kami hampir keluar dari masjid, akupun berkata, ‘Wahai
Rasulullah, bukankah engkau telah berkata akan mengajariku surat yang
paling mulia dalam al-Quran?’ Beliau bersabda, ‘Alhamdulillahirabbil
‘alamin adalah as-sab’u al-matsâni dan al-Quran yang agung yang
dikaruniakan padaku.’” (H.R. Bukhari).
Faidah: Hadits ini menunjukkan bolehnya Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil
orang yang sedang shalat sunnah, dan ini merupakan salah satu
kekhususan beliau saat hidup. Begitu pula seorang ibu berhak untuk
memanggil anaknya yang sedang shalat sunnah, sebagaimana diterangkan
dalam hadits riwayat Muslim yang menceritakan kisah seorang ahli ibadah
yang dipanggil ibunya saat shalat sunnah, namun tidak memenuhi
panggilannya, lalu ditimpa cobaan dari Allah ta’ala.
Adapun selain Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam dan
ibu, maka tidak diperbolehkan memanggil orang yang sedang shalat.
Andaikan ada yang memanggil pun orang yang shalat tersebut tidak harus
memenuhi panggilannya, kecuali dalam keadaan darurat seperti untuk
menyelamatkan seseorang yang terancam bahaya besar [lihat: Tafsîr wa Bayân li A'zhami Sûrah fî al-Qur'an, karya Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu (hal. 12)].
2. Surat al-Fatihah merupakan cahaya
عَنْ
ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: “بَيْنَمَا جِبْرِيلُ قَاعِدٌ عِنْدَ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمِعَ نَقِيضًا مِنْ فَوْقِهِ،
فَرَفَعَ رَأْسَهُ فَقَالَ: هَذَا بَابٌ مِنْ السَّمَاءِ فُتِحَ الْيَوْمَ
لَمْ يُفْتَحْ قَطُّ إِلَّا الْيَوْمَ. فَنَزَلَ مِنْهُ مَلَكٌ، فَقَالَ:
هَذَا مَلَكٌ نَزَلَ إِلَى الْأَرْضِ لَمْ يَنْزِلْ قَطُّ إِلَّا
الْيَوْمَ. فَسَلَّمَ وَقَالَ: أَبْشِرْ بِنُورَيْنِ أُوتِيتَهُمَا لَمْ
يُؤْتَهُمَا نَبِيٌّ قَبْلَكَ فَاتِحَةُ الْكِتَابِ وَخَوَاتِيمُ سُورَةِ
الْبَقَرَةِ لَنْ تَقْرَأَ بِحَرْفٍ مِنْهُمَا إِلَّا أُعْطِيتَهُ
Ibnu Abbas bercerita, “Tatkala
suatu saat Jibril duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
tiba-tiba terdengar suara (keras) dari arah atas. Jibril pun
mendongakkan kepalanya seraya berkata, ‘Itu suara salah satu pintu
langit yang baru dibuka hari ini dan tidak pernah dibuka sebelumnya.’
Lalu keluarlah dari pintu itu seorang malaikat. Jibril kembali berkata,
‘Ini adalah malaikat yang akan turun ke bumi, tidak pernah turun kecuali
hari ini.’ (Sesampainya di depan Rasulullah shallallahu ’alaihi wa
sallam, malaikat tersebut) mengucapkan salam, seraya berkata, ‘Aku
membawa kabar gembira berupa dua cahaya yang dikaruniakan padamu,
tidak pernah diberikan kepada nabi sebelummu; Fâtihatul Kitâb dan (dua
ayat ter)akhir surat al-Baqarah. Tidaklah engkau membaca satu huruf
darinya (yang berisi permohonan) melainkan engkau akan dikaruniai apa
yang kau mohon.’” (H.R. Muslim).
3. Surat al-Fatihah adalah obat
Dalilnya: hadits Abu Sa’id al-Khudri:
انْطَلَقَ
نَفَرٌ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي
سَفْرَةٍ سَافَرُوهَا حَتَّى نَزَلُوا عَلَى حَيٍّ مِنْ أَحْيَاءِ
الْعَرَبِ فَاسْتَضَافُوهُمْ فَأَبَوْا أَنْ يُضَيِّفُوهُمْ فَلُدِغَ
سَيِّدُ ذَلِكَ الْحَيِّ فَسَعَوْا لَهُ بِكُلِّ شَيْءٍ لَا يَنْفَعُهُ
شَيْءٌ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لَوْ أَتَيْتُمْ هَؤُلَاءِ الرَّهْطَ الَّذِينَ
نَزَلُوا لَعَلَّهُ أَنْ يَكُونَ عِنْدَ بَعْضِهِمْ شَيْءٌ فَأَتَوْهُمْ
فَقَالُوا يَا أَيُّهَا الرَّهْطُ إِنَّ سَيِّدَنَا لُدِغَ وَسَعَيْنَا
لَهُ بِكُلِّ شَيْءٍ لَا يَنْفَعُهُ فَهَلْ عِنْدَ أَحَدٍ مِنْكُمْ مِنْ
شَيْءٍ فَقَالَ بَعْضُهُمْ نَعَمْ وَاللَّهِ إِنِّي لَأَرْقِي وَلَكِنْ
وَاللَّهِ لَقَدْ اسْتَضَفْنَاكُمْ فَلَمْ تُضَيِّفُونَا فَمَا أَنَا
بِرَاقٍ لَكُمْ حَتَّى تَجْعَلُوا لَنَا جُعْلًا فَصَالَحُوهُمْ عَلَى
قَطِيعٍ مِنْ الْغَنَمِ فَانْطَلَقَ يَتْفِلُ عَلَيْهِ وَيَقْرَأُ
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ فَكَأَنَّمَا نُشِطَ مِنْ عِقَالٍ
فَانْطَلَقَ يَمْشِي وَمَا بِهِ قَلَبَةٌ قَالَ فَأَوْفَوْهُمْ جُعْلَهُمْ
الَّذِي صَالَحُوهُمْ عَلَيْهِ فَقَالَ بَعْضُهُمْ اقْسِمُوا فَقَالَ
الَّذِي رَقَى لَا تَفْعَلُوا حَتَّى نَأْتِيَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَذْكُرَ لَهُ الَّذِي كَانَ فَنَنْظُرَ مَا
يَأْمُرُنَا فَقَدِمُوا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَذَكَرُوا لَهُ فَقَالَ وَمَا يُدْرِيكَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ؟
ثُمَّ قَالَ: قَدْ أَصَبْتُمْ اقْسِمُوا وَاضْرِبُوا لِي مَعَكُمْ سَهْمًا
فَضَحِكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Suatu hari sekelompok sahabat Nabi
melakukan perjalanan jauh. Di tengah perjalanan mereka singgah di
sebuah kampung kabilah Arab. Mereka bertamu, namun penduduk kampung
enggan untuk menjamu. Tiba-tiba kepala kampung tersengat binatang
berbisa. Penduduk kampung berusaha untuk mengobati dengan segala cara,
namun tidak berhasil. Ada di antara mereka yang usul, ‘Andaikan kalian
mendatangi sekelompok orang yang baru tiba, siapa tahu ada di antara
mereka yang memiliki sesuatu.’ Merekapun mendatangi para sahabat Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, ‘Wahai bapak-bapak,
pembesar kami tersengat binatang berbisa, dan kami telah berusaha dengan
segala cara untuk mengobatinya namun sama sekali tidak bermanfaat.
Apakah ada di antara kalian yang memiliki sesuatu?’ Sebagian sahabat
menjawab, ‘Ya, demi Allah saya bisa mengobati. Namun, kami telah bertamu
tetapi kalian enggan menjamu kami. Saya tidak akan mengobatinya kecuali
setelah kalian berjanji akan memberi upah.’ Mereka pun bersepakat untuk
memberi segerombolan kambing.
Lalu, sahabat tadi menghembus nafas
berserta sedikit ludah dari mulutnya dan membaca
Alhamdulillahirabbil’alamin. Detik itu juga si kepala kampung bangkit
dan bisa berjalan, seolah tidak terkena apapun.
Merekapun memenuhi janjinya untuk
memberi upah. Sebagian sahabat berkata, ‘Bagilah.’ Orang yang meruqyah
menjawab, ‘Jangan lakukan kecuali setelah kita mendatangi Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan kejadian ini. Lalu kita
lihat apa yang diputuskan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.’
Sesampainya di depan Rasul
shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka bercerita. Beliaupun bersabda,
‘Dari manakah engkau mengetahui bahwa surat al-Fatihah adalah ruqyah (obat)?!. Apa yang kalian lakukan benar, bagikan (kambing tersebut) dan beri aku bagian.’ sembari beliau tersenyum.” (H.R. Bukhari).
Imam Ibn al-Qayyim (w. 751 H)
mengomentari hadits di atas, “Surat al-Fatihah telah memberikan dampak
yang luar biasa bagi penyakit tersebut; sehingga penderitanya sembuh
seperti sediakala. Ini merupakan obat yang paling mudah. Andaikan
seorang hamba bisa menggunakannya dengan baik; niscaya ia akan
memperoleh dampak menakjubkan berupa kesembuhan.
Suatu saat tatkala tinggal di Mekah,
aku menderita berbagai penyakit. Namun, aku tidak menemukan dokter
maupun obat. Akhirnya akupun mengobati diriku sendiri dengan surat
al-Fatihah, alhamdulillah aku merasakan perubahan yang luar
biasa. Kuceritakan hal itu kepada orang-orang yang sakit, ternyata
banyak di antara mereka yang pulih dengan segera.
Namun, ada satu hal yang perlu
diperhatikan di sini. Bahwa dzikir, ayat dan doa yang digunakan untuk
meruqyah serta mengobati, …… memang mendatangkan manfaat dan kesembuhan.
Hanya saja ia membutuhkan kesiapan orang yang diobati dan kekuatan
pengaruh orang yang mengobati. Manakala kesembuhan tidak tercapai, bisa
jadi dikarenakan lemahnya pengaruh orang yang mengobati, atau karena
orang yang diobati tidak siap, atau bisa jadi dikarenakan adanya faktor
kuat eksternal yang menghalangi bereaksinya obat tersebut. Hal ini juga
terjadi pada obat dan penyakit jasmani. Terkadang tidak bereaksinya obat
kembali kepada faktor ketidakcocokan anatomi tubuh yang tidak cocok,
atau kuatnya faktor penghalang. Andaikan tubuh siap menerima obat; ia
akan merasakan dampaknya sesuai dengan tingkat kesiapan. Begitu pula
halnya hati, jika ia menerima ruqyah dan al-Qur’an secara total, dan
orang yang mengobati memiliki kekuatan keimanan yang kuat; niscaya
penyakit akan lenyap.” [Ad-Dâ' wa ad-Dawâ' (hal. 8)].
4. Surat al-Fatihah merupakan dialog antara hamba dengan Rabb-Nya.
Dalam Shahîh Muslim (IV/324 no. 876) dari hadits Abu Hurairah disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قَالَ
اللَّهُ تَعَالَى: “قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي
نِصْفَيْنِ وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ”. فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ:{ الْحَمْدُ
لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ }، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: “حَمِدَنِي
عَبْدِي”. وَإِذَا قَالَ: { الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ }, قَالَ اللَّهُ
تَعَالَى: “أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي”. وَإِذَا قَالَ:{ مَالِكِ يَوْمِ
الدِّينِ }، قَالَ: “مَجَّدَنِي عَبْدِي” وَقَالَ مَرَّةً: “فَوَّضَ
إِلَيَّ عَبْدِي”. فَإِذَا قَالَ:{ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ
نَسْتَعِينُ }، قَالَ: “هَذَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا
سَأَلَ” فَإِذَا قَالَ: { اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ
الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا
الضَّالِّينَ}, قَالَ: “هَذَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ
Allah ta’ala berfirman, “Aku membagi shalat (surat al-Fatihah) [Lihat: Tafsîr al-Qurthubi (I/146)] antara diri-Ku dengan hamba-Ku dua bagian [maksud dari pembagian menjadi dua bagian adalah: bagian setengah pertama surat al-Fatihah sampai ayat kelima adalah pujian hamba untuk Allah, sedangkan bagian setengah kedua yaitu dari ayat keenam sampai akhir adalah permohonan seorang hamba untuk dirinya sendiri. Lihat: Tafsîr Sûrah al-Fâtihah karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab (hal. 33-34)], dan hamba-Ku akan memperoleh apa yang dimintanya. Tatkala insan mengucapkan, ‘Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam,’ Allah ta’ala berkata, ‘Hambaku telah memuji-Ku.’
Jika ia mengucapkan, ‘Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang’, Allah ta’ala berkata, ‘Hamba-Ku telah memuliakan diri-Ku.’
Saat ia mengucapkan, ‘Penguasa hari
pembalasan’, Allah ta’ala berfirman, ‘Hamba-Ku telah mengagungkan
diri-Ku.’ Di lain kesempatan Allah berkata, ‘Hamba-Ku telah berserah
diri pada-Ku.’
Manakala ia mengucapkan, ‘Hanya
kepada-Mu-lah aku menyembah dan hanya kepada-Mu-lah aku memohon
pertolongan’, Allah ta’ala berkata, ‘Ini (merupakan urusan) antara Aku
dengan hamba-Ku, dan hamba-Ku akan memperoleh apa yang dimintanya.’
Dan ketika ia mengucapkan,
‘Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah
Engkau beri kenikmatan, bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan
(pula jalan) mereka yang sesat’, Allah ta’ala menjawab, ‘Inilah (hak)
milik hamba-Ku, dan hamba-Ku akan memperoleh apa yang dimintanya.’”
Imam Ibn Rajab (w. 795 H) menjelaskan
bahwa “hadits di atas menunjukkan bahwa Allah mendengarkan bacaan orang
yang shalat; sebab dia sedang bermunajat (berbisik-bisik) dengan Rabb-nya. Dan Allah menjawab setiap bisikan hamba-Nya, kalimat per kalimat.” [Tafsîr Ibn Rajab al-Hambali dihimpun oleh Thâriq bin 'Awadhallâh (I/68-69)].
Maka seorang hamba tatkala membaca
surat al-Fatihah, hendaklah ia membacanya dengan pelan ayat per ayat.
Setiap membaca suatu ayat dia diam sejenak menanti jawaban Allah akan
munajatnya [lihat: Ash-Shalat wa Hukm Târikihâ karya Ibn al-Qayyim (hal. 172)].
Andaikan kita meresapi keterangan di
atas dan mencoba untuk merasakannya; niscaya kita akan mendapatkan
nikmatnya bermunajat dengan Allah ta’ala. Setiap dirundung masalah kita selalu bergegas menghadap Rabbul alamin. Memohon pada-Nya bantuan, pertolongan, limpahan kasih sayang dan curahan ampunan-Nya [An-Nazharât al-Mâti'ah (hal.27)]. Sebagaimana yang dipraktikkan teladan kita; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setiap dirundung masalah, beliau selalu bergegas shalat. Demikian yang diceritakan Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا حَزَبَهُ أَمْرٌ صَلَّى
“Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dirundung masalah, beliau bergegas shalat.” (H.R. Abu Dawud (II/54 no. 1319) dan dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani) [Lihat: Shahîh Sunan Abi Dawud].
Dan jika datang waktu shalat fardhu beliau bersabda,
قُمْ يَا بِلَالُ فَأَرِحْنَا بِالصَّلَاةِ
“Berdirilah wahai Bilal (lantunkanlah adzan). Tenangkan dan istirahatkanlah kami dengan shalat.” (H.R. Abu Dawud (V/165 no. 4986) dan dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani).
Ibn al-Atsir (w. 606 H) menjelaskan,
bahwa maksud hadits di atas adalah: dengan shalat hati kami akan
tenteram dari pikiran tentang kewajiban melaksanakannya. Atau kami akan
merasa tentram dan bisa melepaskan kepenatan beban pekerjaan duniawi
yang melelahkan. Dengan shalat seorang hamba akan merasa tenang,
tenteram dan bisa beristirahat; sebab di dalamnya seorang hamba bisa
berkesempatan untuk munajat dengan Rabb-nya [An-Nihâyah fî Gharîb al-Hadîts wa al-Atsar (II/274) dan lihat pula: 'Aun al-Ma'bûd karya Syamsul Haq al-'Azhîm Âbâdi (XIII/225)].
5. Surat al-Fatihah; Makkiyyah atau Madaniyyah?
Telah terjadi silang pendapat antara
para ulama dalam masalah ini. Hanya saja kebanyakan ulama mengatakan
bahwa surat al-Fatihah diturunkan di Mekah atau yang diistilahkan dengan
makkiyyah [Lihat: Tafsîr al-Baghawi (I/49) dan Fath al-Bâri (VIII/199)]. Dan inilah insyaAllah pendapat yang terkuat.
Dalilnya adalah ayat 87 dari surat al-Hijr tersebut di atas. Dalam ayat ini Allah mengingatkan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam atas
karunia diturunkannya surat al-Fatihah. Ini menunjukkan bahwa surat
al-Fatihah diturunkan sebelum surat al-Hijr. Padahal surat al-Hijr
adalah makkiyyah, dengan demikian, maka surat al-Fatihah pun juga makkiyyah [Lihat: Tafsîr al-Baghawi (I/49) dan Tafsîr al-Qurthubi (I/177)].
Ditambah lagi tempat turunnya hukum
kewajiban shalat adalah di Mekkah, dan tidak ada perbedaan pendapat
antara para ulama dalam hal ini. Sebagaimana telah maklum bahwa salah
satu rukun shalat adalah membaca surat al-Fatihah. Inipun menunjukkan
bahwa surat al-Fatihah telah diturunkan di Mekah [Lihat: Tafsîr al-Qurthubi (I/177)].
- Surat al-Fatihah terdiri dari berapa ayat?
Para ulama satu kata bahwa surat al-Fatihah terdiri dari tujuh ayat, sebagaimana dijelaskan Imam al-Baghawi (w. 516 H) [Lihat: Tafsîr al-Baghawi (I/49)] dan Imam al-Qurthubi (w. 671 H) [Lihat: Tafsîr al- Qurthubi (I/176)]. Hanya saja mereka berbeda pendapat mengenai penentuan ayat ketujuh. Ada yang mengatakan bahwa ayat ketujuh adalah:“غَيرِ المَغضُوبِ عَلَيهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ” dan ayat pertamanya: “الْحَمْدُ للّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ”, sedangkan basmalah tidak dianggap sebagai ayat dalam surat al-Fatihah. Adapula yang berpendapat bahwa ayat ketujuh adalah: “صِرَاطَ الَّذِينَ أَنعَمتَ عَلَيهِمْ غَيرِ المَغضُوبِ عَلَيهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ”, sedangkan basmalah dianggap ayat pertama [Lihat: Tafsîr al- Qurthubi (I/146)].
Pada pembahasan tentang tafsir basmalah sudah kita jelaskan bahwa
mayoritas ulama memandang basmalah merupakan salah satu ayat dari surat
al-Fatihah.
6. Kandungan umum surat al-Fatihah
Ketika membahas nama-nama surat
al-Fatihah, telah disampaikan secara singkat bahwa surat al-Fatihah
mengandung seluruh ilmu al-Quran. Pada poin pembahasan kali ini, kita
akan mengupas lebih jauh kandungan dasar surat al-Fatihah, yang biasa
diistilahkan para ulama dengan maqâshid as-sûrah. Dengan
memahami kandungan global suatu surat dalam al-Qur’an, seorang hamba
akan sangat terbantu dalam menghayati makna rinci ayat-ayat surat
tersebut.
Di antara kandungan umum surat al-Fatihah [lihat: Tafsîr at-Tahrîr wa at-Tanwîr karya Ibn 'Âsyûr (I/133-134) dan an-Nazharât al-Mâti'ah (hal. 30-31)]:
1. Kandungan tauhid atau akidah
Pelajaran tauhid dalam surat mulia ini amat beragam. Di antaranya: pujian terhadap Allah Jalla wa ‘Ala, sebagaimana dalam ayat kedua, ketiga dan keempat: “الْحَمْدُ للّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ . الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ . مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ” (Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Yang Maha pengasih lagi Maha penyayang. Penguasa hari pembalasan).
Kemudian, pengenalan tentang Allah Tabaraka wa Ta’ala melalui penjelasan beberapa namanya; Rabbul ‘âlamîn, ar-Rahmân, ar-Rahîm dan al-Malik.
Juga penegasan tentang keberhakkan Allah akan peribadatan dan penyembahan para hamba-Nya, sebagaimana dalam ayat kelima: “إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ“ (Hanya kepada-Mu lah kami beribadah dan hanya kepada-Mu lah kami memohon pertolongan)”.
2. Kandungan hukum
Hukum yang dikandung al-Fatihah antara
lain: kewajiban untuk mengikhlaskan niat seluruh ibadah hanya untuk
Allah semata, sebagaimana terkandung dalam ayat kelima: “إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ“ (Hanya kepada-Mu lah kami beribadah dan hanya kepada-Mu lah kami memohon pertolongan)”.
3. Kandungan nasihat
Banyak nasihat yang dikandung surat agung ini. Di antaranya:
Peringatan akan adanya hari pertanggungjawaban amalan kita semua, sebagaimana diisyaratkan dalam ayat keempat: “مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ” (Penguasa hari pembalasan).
Motivasi untuk meniti jalan yang lurus;
yakni jalannya orang-orang yang Allah karuniai kenikmatan, sebagaimana
dalam ayat keenam dan ketujuh: “اهدِنَا الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ . صِرَاطَ الَّذِينَ أَنعَمتَ عَلَيهِمْ” (Tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri kenikmatan).
Juga peringatan dari jalan kaum yang menyimpang, sebagaimana dalam ayat ketujuh: “غَيرِ المَغضُوبِ عَلَيهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ” (Bukan jalan mereka yang dimurkai, dan bukan pula jalan mereka yang sesat).