Senin, 23 Juli 2012

Kandungan umum surat al-Fatihah

TAFSIR SURAT AL-FATIHAH
 
Alhamdulillâhi wahdah wash shalâtu was salâmu ‘alâ rasûlillâh…

PENDAHULUAN

Surat al-Fatihah merupakan surat yang paling agung dalam al-Quran. Untaian kalimatnya ringkas, namun kandungan maknanya begitu luas. Seorang muslim yang taat membacanya setiap hari minimal tujuh belas kali di shalatnya. Sejak kecil hingga detik ini entah sudah berapa ratus atau ribu kali kita membacanya. Tapi yang menjadi pertanyaan,: sudahkah kita memahami mutiara indah yang dikandungnya, sehingga kita bisa menggapai kekhusyu’an shalat, yang itu salah satunya bersumber dari peresapan kita akan makna bacaan shalat [lihat: Mukadimah tahqiq kitab Tafsîr Sûrah al-Fâtihah karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab (hal. 9-10)]? Semoga tulisan ringkas di bawah bisa sedikit membantu kita menggapai tujuan mulia tersebut, amien…
  • · Nama-nama surat al-Fatihah
Surat al-Fatihah memiliki banyak nama, sampai-sampai Majduddîn al-Fairûzâbâdi (w. 817 H) menyebutkan bahwa al-Fatihah memiliki tiga puluh nama [Bashâ'ir Dzawî at-Tamyîz fî Lathâ'if al-Kitâb al-'Azîz (I/128) dinukil dari an-Nazharât al-Mâti'ah fî Sûrah al-Fâtihah karya Dr. Marzûq az-Zahrâni (hal. 15)]. Latar belakang penamaan yang begitu beragam kembali kepada keragaman kandungan yang ada di dalamnya serta keutamaan dan keistimewaannya yang begitu banyak [lihat: An-Nazharât al-Mâti'ah (hal. 15)].
Di antara nama-nama tersebut:

1. Al-Fatihah atau Fâtihatul Kitâb

Dalilnya: sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“لاَ صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ”.
“Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Fâtihatul Kitâb.(H.R. Bukhari dan Muslim dari ‘Ubâdah bin Shâmit).

Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama dalam penamaan tersebut. Dinamakan demikian; sebab penulisan mushaf dan shalat dimulai dengannya [lihat: Tafsîr al-Qurthubi (I/172) dan Tafsîr Juz 'Amma oleh Syaikh Ibn 'Utsaimîn (hal. 9)].

2. Ummul Kitâb dan Ummul Qur’ân

Dalil penamaan ini: Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“الْحَمْدُ لِلَّهِ أُمُّ الْقُرْآنِ وَأُمُّ الْكِتَابِ وَالسَّبْعُ الْمَثَانِي”.
 
“(Surat) alhamdulillah adalah ummul qur’an, ummul kitab dan as-sab’u al-matsâni.” (H.R. Tirmidzi dari Abu Hurairah, dan beliau berkomentar bahwa hadits ini hasan sahih).
Mayoritas ulama membolehkan penamaan di atas [lihat: Tafsîr al-Qurthubi (I/172)]. Dinamakan demikian, karena al-Fatihah merupakan inti, tanda dan pendahuluan al-Qur’an [lihat: Tafsîr al-Qur'an al-'Azhîm karya al-'Izz bin Abdissalâm (I/141), Tafsîr al-Baghawi (I/49) dan Fath al-Bâri karya Ibnu Hajar al-'Asqalâni (VIII/195)].

3. Al-Qur’ân al-’Azhîm (al-Qur’an yang agung)

Dalilnya firman Allah ta’ala,
“وَلَقَدْ آتَيْنَاكَ سَبْعاً مِّنَ الْمَثَانِي وَالْقُرْآنَ الْعَظِيمَ”.
Artinya: “Sungguh Kami telah memberikan kepadamu as-sab’u al-matsâni dan al-Qur’an yang agung.(Q.S. Al-Hijr: 87).

Maksud dari as-sab’u al-matsâni dan al-Quran yang agung tersebut dalam ayat di atas adalah surat al-Fatihah [lihat: Tafsîr Ibn Katsîr (IV/547)], sebagaimana dijelaskan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya,
“الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ هِيَ السَّبْعُ الْمَثَانِي وَالْقُرْآنُ الْعَظِيمُ الَّذِي أُوتِيتُهُ”.
Artinya: “Alhamdulillahirabbil ‘alamin (surat al-Fatihah) adalah as-sab’u al-matsâni dan al-Qur’an yang agung yang dikaruniakan padaku.” (H.R. Bukhari dari Abu Sa’id bin al-Mu’alla).

Surat al-Fatihah dinamakan al-Quran al-’Azhîm, karena ia menghimpun seluruh ilmu al-Quran [lihat: Tafsîr al-Qurthubi (I/171, 173)]. Sebagaimana telah maklum bahwa kandungan al-Qur’an terdiri dari tauhid, hukum (fikih), serta nasihat. Dan itu semua ada dalam surat al-Fatihah [cermati: Tafsîr al-Qurthubi (I/173)].

4. As-Sab’u al-Matsâni
Dalilnya ayat dan hadits di atas.
Nama ini terdiri dari dua kata, yaitu: “as-sab’u” dan “al-matsâni”. “As-sab’u” artinya adalah tujuh, yakni surat al-Fatihah terdiri dari tujuh ayat. Sedangkan “al-Matsâni”, para ulama berbeda pendapat mengapa surat al-Fatihah dinamakan dengan kata tersebut. Ada yang mengatakan: karena surat al-Fatihah dibaca berulang-ulang di setiap rakaat shalat. Ada pula yang berpendapat: karena seorang hamba memuji Allah dengan surat tersebut. Dan ada juga yang memandang: penamaan tersebut dikarenakan surat al-Fatihah Allah khususkan untuk umat Islam saja dan tidak diturunkan kepada umat-umat sebelumnya [lihat: Fath al-Bâri (VIII/198)].

Keutamaan surat al-Fatihah
Di antara keutamaannya:

1. Surat al-Fatihah merupakan surat yang paling mulia dalam al-Quran.

كُنْتُ أُصَلِّي فَدَعَانِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ أُجِبْهُ. قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي كُنْتُ أُصَلِّي. قَالَ: أَلَمْ يَقُلْ اللَّهُ: {اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ}. ثُمَّ قَالَ: أَلَا أُعَلِّمُكَ أَعْظَمَ سُورَةٍ فِي الْقُرْآنِ قَبْلَ أَنْ تَخْرُجَ مِنْ الْمَسْجِدِ؟ فَأَخَذَ بِيَدِي فَلَمَّا أَرَدْنَا أَنْ نَخْرُجَ قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّكَ قُلْتَ لَأُعَلِّمَنَّكَ أَعْظَمَ سُورَةٍ مِنْ الْقُرْآنِ. قَالَ: الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ هِيَ السَّبْعُ الْمَثَانِي وَالْقُرْآنُ الْعَظِيمُ الَّذِي أُوتِيتُهُ

Dalilnya: apa yang disampaikan Abu Sa’id bin al-Mu’alla radhiyallahu ‘anhu,
“Suatu hari aku shalat, tiba-tiba Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggilku, dan aku pun tidak menjawabnya. (Selesai shalat) aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, tadi aku sedang shalat.’ Beliau menjawab, ‘Bukankah Allah telah berfirman, ‘Penuhilah panggilan Allah dan Rasul jika memanggil kalian’ (QS. Al-Anfal: 24)? Lalu beliau bersabda, ‘Maukah kuajarkan padamu surat yang paling mulia dalam al-Quran sebelum engkau keluar dari masjid?’ Kemudian beliau menggandeng tanganku, tatkala kami hampir keluar dari masjid, akupun berkata, ‘Wahai Rasulullah, bukankah engkau telah berkata akan mengajariku surat yang paling mulia dalam al-Quran?’ Beliau bersabda, ‘Alhamdulillahirabbil ‘alamin adalah as-sab’u al-matsâni dan al-Quran yang agung yang dikaruniakan padaku.’” (H.R. Bukhari).

Faidah: Hadits ini menunjukkan bolehnya Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil orang yang sedang shalat sunnah, dan ini merupakan salah satu kekhususan beliau saat hidup. Begitu pula seorang ibu berhak untuk memanggil anaknya yang sedang shalat sunnah, sebagaimana diterangkan dalam hadits riwayat Muslim yang menceritakan kisah seorang ahli ibadah yang dipanggil ibunya saat shalat sunnah, namun tidak memenuhi panggilannya, lalu ditimpa cobaan dari Allah ta’ala.
Adapun selain Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam dan ibu, maka tidak diperbolehkan memanggil orang yang sedang shalat. Andaikan ada yang memanggil pun orang yang shalat tersebut tidak harus memenuhi panggilannya, kecuali dalam keadaan darurat seperti untuk menyelamatkan seseorang yang terancam bahaya besar [lihat: Tafsîr wa Bayân li A'zhami Sûrah fî al-Qur'an, karya Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu (hal. 12)].

2. Surat al-Fatihah merupakan cahaya

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: “بَيْنَمَا جِبْرِيلُ قَاعِدٌ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمِعَ نَقِيضًا مِنْ فَوْقِهِ، فَرَفَعَ رَأْسَهُ فَقَالَ: هَذَا بَابٌ مِنْ السَّمَاءِ فُتِحَ الْيَوْمَ لَمْ يُفْتَحْ قَطُّ إِلَّا الْيَوْمَ. فَنَزَلَ مِنْهُ مَلَكٌ، فَقَالَ: هَذَا مَلَكٌ نَزَلَ إِلَى الْأَرْضِ لَمْ يَنْزِلْ قَطُّ إِلَّا الْيَوْمَ. فَسَلَّمَ وَقَالَ: أَبْشِرْ بِنُورَيْنِ أُوتِيتَهُمَا لَمْ يُؤْتَهُمَا نَبِيٌّ قَبْلَكَ فَاتِحَةُ الْكِتَابِ وَخَوَاتِيمُ سُورَةِ الْبَقَرَةِ لَنْ تَقْرَأَ بِحَرْفٍ مِنْهُمَا إِلَّا أُعْطِيتَهُ
Ibnu Abbas bercerita, “Tatkala suatu saat Jibril duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba-tiba terdengar suara (keras) dari arah atas. Jibril pun mendongakkan kepalanya seraya berkata, ‘Itu suara salah satu pintu langit yang baru dibuka hari ini dan tidak pernah dibuka sebelumnya.’ Lalu keluarlah dari pintu itu seorang malaikat. Jibril kembali berkata, ‘Ini adalah malaikat yang akan turun ke bumi, tidak pernah turun kecuali hari ini.’ (Sesampainya di depan Rasulullah shallallahu  ’alaihi wa sallam, malaikat tersebut) mengucapkan salam, seraya berkata, ‘Aku membawa kabar gembira berupa dua cahaya yang dikaruniakan padamu, tidak pernah diberikan kepada nabi sebelummu; Fâtihatul Kitâb dan (dua ayat ter)akhir surat al-Baqarah. Tidaklah engkau membaca satu huruf darinya (yang berisi permohonan) melainkan engkau akan dikaruniai apa yang kau mohon.’” (H.R. Muslim).

3. Surat al-Fatihah adalah obat

Dalilnya: hadits Abu Sa’id al-Khudri:

انْطَلَقَ نَفَرٌ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفْرَةٍ سَافَرُوهَا حَتَّى نَزَلُوا عَلَى حَيٍّ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ فَاسْتَضَافُوهُمْ فَأَبَوْا أَنْ يُضَيِّفُوهُمْ فَلُدِغَ سَيِّدُ ذَلِكَ الْحَيِّ فَسَعَوْا لَهُ بِكُلِّ شَيْءٍ لَا يَنْفَعُهُ شَيْءٌ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لَوْ أَتَيْتُمْ هَؤُلَاءِ الرَّهْطَ الَّذِينَ نَزَلُوا لَعَلَّهُ أَنْ يَكُونَ عِنْدَ بَعْضِهِمْ شَيْءٌ فَأَتَوْهُمْ فَقَالُوا يَا أَيُّهَا الرَّهْطُ إِنَّ سَيِّدَنَا لُدِغَ وَسَعَيْنَا لَهُ بِكُلِّ شَيْءٍ لَا يَنْفَعُهُ فَهَلْ عِنْدَ أَحَدٍ مِنْكُمْ مِنْ شَيْءٍ فَقَالَ بَعْضُهُمْ نَعَمْ وَاللَّهِ إِنِّي لَأَرْقِي وَلَكِنْ وَاللَّهِ لَقَدْ اسْتَضَفْنَاكُمْ فَلَمْ تُضَيِّفُونَا فَمَا أَنَا بِرَاقٍ لَكُمْ حَتَّى تَجْعَلُوا لَنَا جُعْلًا فَصَالَحُوهُمْ عَلَى قَطِيعٍ مِنْ الْغَنَمِ فَانْطَلَقَ يَتْفِلُ عَلَيْهِ وَيَقْرَأُ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ فَكَأَنَّمَا نُشِطَ مِنْ عِقَالٍ فَانْطَلَقَ يَمْشِي وَمَا بِهِ قَلَبَةٌ قَالَ فَأَوْفَوْهُمْ جُعْلَهُمْ الَّذِي صَالَحُوهُمْ عَلَيْهِ فَقَالَ بَعْضُهُمْ اقْسِمُوا فَقَالَ الَّذِي رَقَى لَا تَفْعَلُوا حَتَّى نَأْتِيَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَذْكُرَ لَهُ الَّذِي كَانَ فَنَنْظُرَ مَا يَأْمُرُنَا فَقَدِمُوا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرُوا لَهُ فَقَالَ وَمَا يُدْرِيكَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ؟ ثُمَّ قَالَ: قَدْ أَصَبْتُمْ اقْسِمُوا وَاضْرِبُوا لِي مَعَكُمْ سَهْمًا فَضَحِكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Suatu hari sekelompok sahabat Nabi melakukan perjalanan jauh. Di tengah perjalanan mereka singgah di sebuah kampung kabilah Arab. Mereka bertamu, namun penduduk kampung enggan untuk menjamu. Tiba-tiba kepala kampung tersengat binatang berbisa. Penduduk kampung berusaha untuk mengobati dengan segala cara, namun tidak berhasil. Ada di antara mereka yang usul, ‘Andaikan kalian mendatangi sekelompok orang yang baru tiba, siapa tahu ada di antara mereka yang memiliki sesuatu.’ Merekapun mendatangi para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, ‘Wahai bapak-bapak, pembesar kami tersengat binatang berbisa, dan kami telah berusaha dengan segala cara untuk mengobatinya namun sama sekali tidak bermanfaat. Apakah ada di antara kalian yang memiliki sesuatu?’ Sebagian sahabat menjawab, ‘Ya, demi Allah saya bisa mengobati. Namun, kami telah bertamu tetapi kalian enggan menjamu kami. Saya tidak akan mengobatinya kecuali setelah kalian berjanji akan memberi upah.’ Mereka pun bersepakat untuk memberi segerombolan kambing. 
Lalu, sahabat tadi menghembus nafas berserta sedikit ludah dari mulutnya dan membaca Alhamdulillahirabbil’alamin. Detik itu juga si kepala kampung bangkit dan bisa berjalan, seolah tidak terkena apapun.
Merekapun memenuhi janjinya untuk memberi upah. Sebagian sahabat berkata, ‘Bagilah.’ Orang yang meruqyah menjawab, ‘Jangan lakukan kecuali setelah kita mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan kejadian ini. Lalu kita lihat apa yang diputuskan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.’
Sesampainya di depan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka bercerita. Beliaupun bersabda, ‘Dari manakah engkau mengetahui bahwa surat al-Fatihah adalah ruqyah (obat)?!. Apa yang kalian lakukan benar, bagikan (kambing tersebut) dan beri aku bagian.’ sembari beliau tersenyum.” (H.R. Bukhari).

Imam Ibn al-Qayyim (w. 751 H) mengomentari hadits di atas, “Surat al-Fatihah telah memberikan dampak yang luar biasa bagi penyakit tersebut; sehingga penderitanya sembuh seperti sediakala. Ini merupakan obat yang paling mudah. Andaikan seorang hamba bisa menggunakannya dengan baik; niscaya ia akan memperoleh dampak menakjubkan berupa kesembuhan.
Suatu saat tatkala tinggal di Mekah, aku menderita berbagai penyakit. Namun, aku tidak menemukan dokter maupun obat. Akhirnya akupun mengobati diriku sendiri dengan surat al-Fatihah, alhamdulillah aku merasakan perubahan yang luar biasa. Kuceritakan hal itu kepada orang-orang yang sakit, ternyata banyak di antara mereka yang pulih dengan segera.
Namun, ada satu hal yang perlu diperhatikan di sini. Bahwa dzikir, ayat dan doa yang digunakan untuk meruqyah serta mengobati, …… memang mendatangkan manfaat dan kesembuhan. Hanya saja ia membutuhkan kesiapan orang yang diobati dan kekuatan pengaruh orang yang mengobati. Manakala kesembuhan tidak tercapai, bisa jadi dikarenakan lemahnya pengaruh orang yang mengobati, atau karena orang yang diobati tidak siap, atau bisa jadi dikarenakan adanya faktor kuat eksternal yang menghalangi bereaksinya obat tersebut. Hal ini juga terjadi pada obat dan penyakit jasmani. Terkadang tidak bereaksinya obat kembali kepada faktor ketidakcocokan anatomi tubuh yang tidak cocok, atau kuatnya faktor penghalang. Andaikan tubuh siap menerima obat; ia akan merasakan dampaknya sesuai dengan tingkat kesiapan. Begitu pula halnya hati, jika ia menerima ruqyah dan al-Qur’an secara total, dan orang yang mengobati memiliki kekuatan keimanan yang kuat; niscaya penyakit akan lenyap.” [Ad-Dâ' wa ad-Dawâ' (hal. 8)].

4. Surat al-Fatihah merupakan dialog antara hamba dengan Rabb-Nya.
Dalam Shahîh Muslim (IV/324 no. 876) dari hadits Abu Hurairah disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: “قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ”. فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ:{ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ }، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: “حَمِدَنِي عَبْدِي”. وَإِذَا قَالَ: { الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ }, قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: “أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي”. وَإِذَا قَالَ:{ مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ }، قَالَ: “مَجَّدَنِي عَبْدِي” وَقَالَ مَرَّةً: “فَوَّضَ إِلَيَّ عَبْدِي”. فَإِذَا قَالَ:{ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ }، قَالَ: “هَذَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ” فَإِذَا قَالَ: { اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ}, قَالَ: “هَذَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ

Allah ta’ala berfirman, “Aku membagi shalat (surat al-Fatihah) [Lihat: Tafsîr al-Qurthubi (I/146)] antara diri-Ku dengan hamba-Ku dua bagian [maksud dari pembagian menjadi dua bagian adalah: bagian setengah pertama surat al-Fatihah sampai ayat kelima adalah pujian hamba untuk Allah, sedangkan bagian setengah kedua yaitu dari ayat keenam sampai akhir adalah permohonan seorang hamba untuk dirinya sendiri. Lihat: Tafsîr Sûrah al-Fâtihah karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab (hal. 33-34)], dan hamba-Ku akan memperoleh apa yang dimintanya. Tatkala insan mengucapkan, ‘Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam,’ Allah ta’ala berkata, ‘Hambaku telah memuji-Ku.’
Jika ia mengucapkan, ‘Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang’, Allah ta’ala berkata, ‘Hamba-Ku telah memuliakan diri-Ku.’
Saat ia mengucapkan, ‘Penguasa hari pembalasan’, Allah ta’ala berfirman, ‘Hamba-Ku telah mengagungkan diri-Ku.’ Di lain kesempatan Allah berkata, ‘Hamba-Ku telah berserah diri pada-Ku.’
Manakala ia mengucapkan, ‘Hanya kepada-Mu-lah aku menyembah dan hanya kepada-Mu-lah aku memohon pertolongan’, Allah ta’ala berkata, ‘Ini (merupakan urusan) antara Aku dengan hamba-Ku, dan hamba-Ku akan memperoleh apa yang dimintanya.’
Dan ketika ia mengucapkan, ‘Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri kenikmatan, bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat’, Allah ta’ala menjawab, ‘Inilah (hak) milik hamba-Ku, dan hamba-Ku akan memperoleh apa yang dimintanya.’”

Imam Ibn Rajab (w. 795 H) menjelaskan bahwa “hadits di atas menunjukkan bahwa Allah mendengarkan bacaan orang yang shalat; sebab dia sedang bermunajat (berbisik-bisik) dengan Rabb-nya. Dan Allah menjawab setiap bisikan hamba-Nya, kalimat per kalimat.” [Tafsîr Ibn Rajab al-Hambali dihimpun oleh Thâriq bin 'Awadhallâh (I/68-69)].
Maka seorang hamba tatkala membaca surat al-Fatihah, hendaklah ia membacanya dengan pelan ayat per ayat. Setiap membaca suatu ayat dia diam sejenak menanti jawaban Allah akan munajatnya [lihat: Ash-Shalat wa Hukm Târikihâ karya Ibn al-Qayyim (hal. 172)].
Andaikan kita meresapi keterangan di atas dan mencoba untuk merasakannya; niscaya kita akan mendapatkan nikmatnya bermunajat dengan Allah ta’ala. Setiap dirundung masalah kita selalu bergegas menghadap Rabbul alamin. Memohon pada-Nya bantuan, pertolongan, limpahan kasih sayang dan curahan ampunan-Nya [An-Nazharât al-Mâti'ah (hal.27)]. Sebagaimana yang dipraktikkan teladan kita; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setiap dirundung masalah, beliau selalu bergegas shalat. Demikian yang diceritakan Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا حَزَبَهُ أَمْرٌ صَلَّى
“Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dirundung masalah, beliau bergegas shalat.” (H.R. Abu Dawud (II/54 no. 1319) dan dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani) [Lihat: Shahîh Sunan Abi Dawud].

Dan jika datang waktu shalat fardhu beliau bersabda,

قُمْ يَا بِلَالُ فَأَرِحْنَا بِالصَّلَاةِ
“Berdirilah wahai Bilal (lantunkanlah adzan). Tenangkan dan istirahatkanlah kami dengan shalat.” (H.R. Abu Dawud (V/165 no. 4986) dan dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani).

Ibn al-Atsir (w. 606 H) menjelaskan, bahwa maksud hadits di atas adalah: dengan shalat hati kami akan tenteram dari pikiran tentang kewajiban melaksanakannya. Atau kami akan merasa tentram dan bisa melepaskan kepenatan beban pekerjaan duniawi yang melelahkan. Dengan shalat seorang hamba akan merasa tenang, tenteram dan bisa beristirahat; sebab di dalamnya seorang hamba bisa berkesempatan untuk munajat dengan Rabb-nya [An-Nihâyah fî Gharîb al-Hadîts wa al-Atsar (II/274) dan lihat pula: 'Aun al-Ma'bûd karya Syamsul Haq al-'Azhîm Âbâdi (XIII/225)].

5. Surat al-Fatihah; Makkiyyah atau Madaniyyah?
 
Telah terjadi silang pendapat antara para ulama dalam masalah ini. Hanya saja kebanyakan ulama mengatakan bahwa surat al-Fatihah diturunkan di Mekah atau yang diistilahkan dengan makkiyyah [Lihat: Tafsîr al-Baghawi (I/49) dan Fath al-Bâri (VIII/199)]. Dan inilah insyaAllah pendapat yang terkuat.
Dalilnya adalah ayat 87 dari surat al-Hijr tersebut di atas. Dalam ayat ini Allah mengingatkan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam atas karunia diturunkannya surat al-Fatihah. Ini menunjukkan bahwa surat al-Fatihah diturunkan sebelum surat al-Hijr. Padahal surat al-Hijr adalah makkiyyah, dengan demikian, maka surat al-Fatihah pun juga makkiyyah [Lihat: Tafsîr al-Baghawi (I/49) dan Tafsîr al-Qurthubi (I/177)].
Ditambah lagi tempat turunnya hukum kewajiban shalat adalah di Mekkah, dan tidak ada perbedaan pendapat antara para ulama dalam hal ini. Sebagaimana telah maklum bahwa salah satu rukun shalat adalah membaca surat al-Fatihah. Inipun menunjukkan bahwa surat al-Fatihah telah diturunkan di Mekah [Lihat: Tafsîr al-Qurthubi (I/177)].
  • Surat al-Fatihah terdiri dari berapa ayat?
Para ulama satu kata bahwa surat al-Fatihah terdiri dari tujuh ayat, sebagaimana dijelaskan Imam al-Baghawi (w. 516 H) [Lihat: Tafsîr al-Baghawi (I/49)] dan Imam al-Qurthubi (w. 671 H) [Lihat: Tafsîr al- Qurthubi (I/176)]. Hanya saja mereka berbeda pendapat mengenai penentuan ayat ketujuh. Ada yang mengatakan bahwa ayat ketujuh adalah:“غَيرِ المَغضُوبِ عَلَيهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ” dan ayat pertamanya: “الْحَمْدُ للّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ”, sedangkan basmalah tidak dianggap sebagai ayat dalam surat al-Fatihah. Adapula yang berpendapat bahwa ayat ketujuh adalah: “صِرَاطَ الَّذِينَ أَنعَمتَ عَلَيهِمْ غَيرِ المَغضُوبِ عَلَيهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ”, sedangkan basmalah dianggap ayat pertama [Lihat: Tafsîr al- Qurthubi (I/146)]. Pada pembahasan tentang tafsir basmalah sudah kita jelaskan bahwa mayoritas ulama memandang basmalah merupakan salah satu ayat dari surat al-Fatihah.

6. Kandungan umum surat al-Fatihah

Ketika membahas nama-nama surat al-Fatihah, telah disampaikan secara singkat bahwa surat al-Fatihah mengandung seluruh ilmu al-Quran. Pada poin pembahasan kali ini, kita akan mengupas lebih jauh kandungan dasar surat al-Fatihah, yang biasa diistilahkan para ulama dengan maqâshid as-sûrah. Dengan memahami kandungan global suatu surat dalam al-Qur’an, seorang hamba akan sangat terbantu dalam menghayati makna rinci ayat-ayat surat tersebut.
Di antara kandungan umum surat al-Fatihah [lihat: Tafsîr at-Tahrîr wa at-Tanwîr karya Ibn 'Âsyûr (I/133-134) dan an-Nazharât al-Mâti'ah (hal. 30-31)]:

1. Kandungan tauhid atau akidah
Pelajaran tauhid dalam surat mulia ini amat beragam. Di antaranya: pujian terhadap Allah Jalla wa ‘Ala, sebagaimana dalam ayat kedua, ketiga dan keempat: “الْحَمْدُ للّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ . الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ . مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ” (Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Yang Maha pengasih lagi Maha penyayang. Penguasa hari pembalasan).
Kemudian, pengenalan tentang Allah Tabaraka wa Ta’ala melalui penjelasan beberapa namanya; Rabbul ‘âlamîn, ar-Rahmân, ar-Rahîm dan al-Malik.
Juga penegasan tentang keberhakkan Allah akan peribadatan dan penyembahan para hamba-Nya, sebagaimana dalam ayat kelima: إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (Hanya kepada-Mu lah kami beribadah dan hanya kepada-Mu lah kami memohon pertolongan)”.

2. Kandungan hukum
Hukum yang dikandung al-Fatihah antara lain: kewajiban untuk mengikhlaskan niat seluruh ibadah hanya untuk Allah semata, sebagaimana terkandung dalam ayat kelima: إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (Hanya kepada-Mu lah kami beribadah dan hanya kepada-Mu lah kami memohon pertolongan)”.

3. Kandungan nasihat
Banyak nasihat yang dikandung surat agung ini. Di antaranya:
Peringatan akan adanya hari pertanggungjawaban amalan kita semua, sebagaimana diisyaratkan dalam ayat keempat: “مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ” (Penguasa hari pembalasan).
Motivasi untuk meniti jalan yang lurus; yakni jalannya orang-orang yang Allah karuniai kenikmatan, sebagaimana dalam ayat keenam dan ketujuh: “اهدِنَا الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ . صِرَاطَ الَّذِينَ أَنعَمتَ عَلَيهِمْ” (Tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri kenikmatan).
Juga peringatan dari jalan kaum yang menyimpang, sebagaimana dalam ayat ketujuh: “غَيرِ المَغضُوبِ عَلَيهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ” (Bukan jalan mereka yang dimurkai, dan bukan pula jalan mereka yang sesat).